Friday 29 May 2009

JODOH DAN KEDEWASAAN KITA

Jodoh adalah problema serius, terutama bagi para
Muslimah. Kemana pun mereka melangkah,
pertanyaan-pertanyaan “kreatif” tiada henti
membayangi. Kapan aku menikah? Aku rindu seorang
pendamping, namun siapa? Aku iri melihat wanita muda
menggendong bayi, kapan giliranku dipanggil ibu? Aku
jadi ragu, benarkah aku punya jodoh? Atau
jangan-jangan Tuhan berlaku tidak adil?

Jodoh serasa ringan diucap, tapi rumit dalam realita.
Kebanyakan orang ketika berbicara soal jodoh selalu
bertolak dari sebuah gambaran ideal tentang kehidupan
rumah tangga. Otomatis dia lalu berpikir serius
tentang kriteria calon idaman. Nah, di sinilah segala
sedu-sedan pembicaraan soal jodoh itu berawal. Pada
mulanya, kriteria calon hanya menjadi ‘bagian
masalah’, namun kemudian justru menjadi inti
permasalahan itu sendiri.

Di sini orang berlomba mengajukan “standardisasi”
calon: wajah rupawan, berpendidikan tinggi, wawasan
luas, orang tua kaya, profesi mapan, latar belakang
keluarga harmonis, dan tentu saja kualitas keshalihan.

Ketika ditanya, haruskah seideal itu? Jawabnya ringan,
“Apa salahnya? Ikhtiar tidak apa, kan?” Memang, ada
juga jawaban lain, “Saya tidak pernah menuntut. Yang
penting bagi saya calon yang shalih saja.” Sayangnya,
jawaban itu diucapkan ketika gurat-gurat keriput mulai
menghiasi wajah. Dulu ketika masih fresh, sekadar
senyum pun mahal.

Tidak ada satu pun dalih, bahwa peluang jodoh lebih
cepat didapatkan oleh mereka yang memiliki sifat
superior (serbaunggul). Memperhitungkan kriteria calon
memang sesuai sunnah, namun kriteria tidak pernah
menjadi penentu sulit atau mudahnya orang menikah.
Pengalaman riil di lapangan kerap kali
menjungkirbalikkan prasangka-prasangka kita selama
ini.

Jodoh, jika direnungkan, sebenarnya lebih bergantung
pada kedewasaan kita. Banyak orang merintih pilu,
menghiba dalam doa, memohon kemurahan Allah, sekaligus
menuntut keadilan-Nya. Namun prestasi terbaik mereka
hanya sebatas menuntut, tidak tampak bukti kesungguhan
untuk menjemput kehidupan rumah tangga.

Mereka bayangkan kehidupan rumah tangga itu indah,
bahkan lebih indah dari film-film picisan ala bintang
India, Sahrukh Khan. Mereka tidak memandang bahwa
kehidupan keluarga adalah arena perjuangan, penuh liku
dan ujian, dibutuhkan napas kesabaran panjang, kadang
kegetiran mampir susul-menyusul. Mereka hanya siap
menjadi raja atau ratu, tidak pernah menyiapkan diri
untuk berletih-letih membina keluarga.

Kehidupan keluarga tidak berbeda dengan kehidupan
individu, hanya dalam soal ujian dan beban jauh lebih
berat. Jika seseorang masih single, lalu dibuai
penyakit malas dan manja, kehidupan keluarga macam apa
yang dia impikan?

Pendidikan, lingkungan, dan media membesarkan generasi
muda kita menjadi manusia-manusia yang rapuh. Mereka
sangat pakar dalam memahami sebuah gambar kehidupan
yang ideal, namun lemah nyali ketika didesak untuk
meraih keidealan itu dengan pengorbanan. Jika harus
ideal, mereka menuntut orang lain yang menyediakannya.
Adapun mereka cukup ongkang-ongkang kaki. Kesulitan
itu pada akhirnya kita ciptakan sendiri, bukan dari
siapa pun.

Bagaimana mungkin Allah akan memberi nikmat jodoh,
jika kita tidak pernah siap untuk itu? “Tidaklah Allah
membebani seseorang melainkan sekadar sesuai
kesanggupannya.” (QS Al Baqarah, 286). Di balik
fenomena “telat nikah” sebenarnya ada bukti-bukti
kasih sayang Allah SWT.

Ketika sifat kedewasaan telah menjadi jiwa, jodoh itu
akan datang tanpa harus dirintihkan. Kala itu hati
seseorang telah bulat utuh, siap menerima realita
kehidupan rumah tangga, manis atau getirnya, dengan
lapang dada.

Jangan pernah lagi bertanya, mana jodohku? Namun
bertanyalah, sudah dewasakah aku?

Monday 30 March 2009

EMOSI

Pintu mata hatimu telah tertutup oleh luapan emosimu
membuatmu tak lagi bisa berpikir jernih terhadap sesuatu
prasangka buruk membuatmu terjebak oleh halusinasi yang menghantui dirimu
kebencian perlahan mengubah dirimu menjadi orang selama ini selalu kau benci
akhirnya tanpa kau sadari dirimu tiada bedanya dengan mereka
perlahan jati dirimu termakan oleh luapan emosimu sendiri
kau tuduh mereka mencuci otakmu
padahal tanpa kau sadari otakmu tercuci oleh emosimu sendiri
kau palingkan dirimu dari sebuah fakta yang ada
karena kau tak mampu menerima perbedaan yang ada
kau tutup rapat kupingmu dari nasehat orang yang kau anggap berbeda
hingga akhirnya dirimu menjadi seorang penyendiri
yang tenggelam dalam lautan emosi nan abadi

masih pantaskah dirimu mengaku pahlawan
masih pantaskah dirimu mengaku pejuang
tatkala kau tak dapat lagi menerima sebuah perbedaan
tatkala kau tak bisa bergabung dengan mereka yang menentang
karena kau hanya ingin pendapatmu yang paling benar
walau kau tahu hal itu tidaklah selamanya benar

apa yang sebenarnya kau cari ?
jikalau kau inginkan keadilan ?
lalu kenapa kau bangunkan kebencian?
jikalau kau inginkan kebenaran ditegakkan ?
lalu kenapa kau hidupkan permusuhan ?
hanya karena kau tak mampu menerima perbedaan ?

lalu………………….
siapa sebenarnya yang sedang kau bohongi ?
kami………..
ataukah dirimu sendiri……………..
hanya kau yang mengetahui jawabannya sendiri
karena jika kau mau jujur pada dirimu sendiri
maka kau akan bisa melihat dengan mata hatimu
bahwa otakmu tercuci oleh lautan emosimu sendiri

Friday 16 January 2009

ENAM KETAKUTAN SEORANG MUKMIN

Menjelang hati Jumat esok, hari yang paling utama dalam sepekan, saya ingin mengajak kepada kita semua untuk kembali mengisi ruhiyah masing-masing. Dengan sebuah taushiyah, kutipan perkataan dari salah seorang Khulafaur Rasyidin, Utsman bin Affan radhiyallahun anhu. Masih saya ambil dari majalah Tarbawi edisi 13 November, mengenai apa saja hal-hal yang seharusnya ditakuti oleh seorang mukmin.

Enam Ketakutan Seorang Mukmin

Seorang mukmin hendaknya takut pada enam hal,

  1. Takut kepada Allah, jangan-jangan Allah mencabut keimanannya.
  2. Takut kepada malaikat, jangan-jangan mereka menulis amal kita dengan catatan yang sangat memalukan jika dibeberkan pada hari kiamat.
  3. Takut kepada syetan, jangan-jangan mereka berhasil merusak amal yang kita kerjakan.
  4. Takut kepada malaikat Izroil, jangan-jangan ia mencabut nyawa kita saat kita lupa kepada Allah.
  5. Takut kepada dunia, jangan-jangan dunia itu telah membuat kita terlena sehingga kita melupakan urusan akhirat.
  6. Takut kepada keluarga sendiri, jangan-jangan mereka telah menyibukkan kita untuk memenuhi urusan mereka, sehingga kita melupakan ketaatan kepada Allah.

(Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anhu)

Polwan AS: Allah Telah Mengirim Islam ke Rumah Saya

Linda (Widad) Delgado, terlahir sebagai seorang Kristiani dan sejak usia 9 tahun sudah rajin membaca Alkitab. Namun itu tidak menjadikannya percaya begitu saja pada agama Kristen yang dianutnya, oleh sebab itu sampai usia 52 tahun, Linda terus terus melakukan pencarian untuk menemukan kebenaran sejati tentang Tuhan.

Selama puluhan tahun, Linda yang tidak pernah menjadi anggota jamaah salah satu gereja, mempelajari ajaran agama Katolik, Protestan, Mormon, Yehovah sampai agama Yahudi. Namun Linda masih belum bisa menerima ajaran-ajaran agama tersebut.

“Hati saya berkata bahwa Yesus bukan Tuhan tapi hanya seorang nabi. Hati kecil saya berkata, Adam dan Hawa bertanggung jawab atas dosa-dosa mereka sendiri, dan bukan saya. Hati kecil saya berkata, saya selayaknya berdoa pada Tuhan dan bukan pada yang lain. Akal saya mengatakan juga bahwa saya harus bertanggung jawab atas perbuatan baik dan perbuatan buruk yang saya lakukan,” tutur Linda.

Linda yang bekerja sebagai polisi di Arizona, AS mengaku selama itu pula ia tidak pernah berkomunikasi dengan Muslim. Ia, seperti kebanyakan orang Barat, terlalu banyak membaca pemberitaan di media massa tentang agama Islam, yang disebut-sebut sebagai agama yang dianut para teroris fanatik.

“Itulah sebabnya, saya tidak pernah mencoba mencari buku-buku atau informasi tentang Islam. Saya tidak tahu apapun tentang agama ini,” kata Linda.

Awal Perjalanan

Pada usia 52 tahun, Linda dan suaminya yang juga polisi, pensiun dari dinas kepolisian tepatnya pada tahun 2000. Saat itulah ia bertemu seorang penerbang yang minta tolong mencarikan rumah bagi sejumlah polisi asal Arab Saudi yang sedang berada di AS dalam rangka belajar bahasa Inggris dan tugas belajar di akademi kepolisian di Arizona. Para polisi Arab Saudi itu berharap bisa tinggal dengan keluarga Amerika agar mereka bisa mempraktekkan bahasa Inggris dan belajar tentang budaya masyarakat Amerika.

Saat itu, Linda dan suaminya tinggal tidak jauh dengan puteranya yang menjadi orang tua tunggal untuk seorang puterinya. Setelah berdiskusi dengan suaminya, Linda menyatakan bersedia membantu para polisi Arab Saudi itu. Saat itu ia berpikir, ini akan menjadi kesempatan untuk cucu perempuannya belajar tentang orang-orang dari negara lain. Tapi Linda mengaku agak khawatir saat diberitahu bahwa polisi-polisi Saudi itu beragama Islam.

Kemudian seorang penerjemah dari Universitas Arizona mengenalkan anak muda dan tidak bisa berbahasa Inggris. Namanya Abdul. Dialah polisi Saudi yang akan tinggal bersama keluarga Linda. Keluarga Linda cepat akrab dan menyukai Abdul karena perilaku Abdul yang santun.

“Abdul mengatakan, bahwa saya adalah non-Muslim pertama yang pernah diajarkannya tentang Islam,” ujar Linda.

Setelah Abdul, kemudian datang Fahd. Usia Fahd lebih muda dan sangat pemalu. Selain menjadi tutor, Linda, Abdul dan Fahd berdiskusi tentang banyak hal, mulai dari pekerjaan sebagai polisi, tentang AS, tentang Arab Saudi dan tentang Islam. Linda mengamati bagaimana Abdul dan Fahd serta 16 anggota polisi Saudi lainnya yang sedang belajar di AS itu saling membantu satu sama lain. Dan Linda mengaku kagum pada Fahd dan Abdul yang sama sekali tidak terpengaruh dengan budaya Amerika meski mereka sudah satu tahun tinggal di AS.

“Mereka pergi ke masjid setiap hari Jumat, mereka tetap salat meski mereka sangat lelah dan mereka selalu hati-hati dengan apa yang mereka makan. Mereka menunjukkan pada saya bagaimana memasak beberapa masakan tradisional Arab Saudi, mengajak saya ke restoran dan pasar warga Arab. Mereka juga sangat baik pada cucu saya, memberikannya banyak hadiah, lelucon dan persahatan,” ungkap Linda.

Suatu hari, Linda menanyakan pada mereka apakah punya al-Quran lebih, karena Linda ingin membaca apa sebenarnya isi al-Quran. Fahd dan Abdul lalu menghubungi kedutaan besar Saudi di Washington DC dan minta dikirimkan al-Quran dengan terjemahan bahasa Inggris agar bisa dibaca Linda. Setelah itu, Linda sering bertanya tentang Islam pada dua polisi muda Saudi itu.

Dalam satu kesempatan, salah seorang polisi Saudi meminta istrinya datang dan tinggal di AS. Linda diundang ke rumah mereka dan disana Linda banyak bertanya pada istri polisi tadi tentang busana muslim, wudhu dan banyak hal tentang Islam.

Seminggu sebelum “anak-anak angkat” Linda kembali ke Arab Saudi, ia mengadakan makan malam bersama seluruh keluarga. Linda sengaja membeli jilbab dan baju abaya untuk dikenakan saat malam itu. Linda ingin “anak-anak angkat”nya mengingatnya sebagai saudara perempuan yang mengenakan busana muslimah yang baik.

Sebelum mereka makan malam itu, Linda memutuskan untuk mengucapkan syahadat. Kedua polisi muda itu sangat terharu. Mereka menangis sekaligus tersenyum bahagia melihat Linda menjadi seorang Muslimah.

“Dalam hati saya percaya bahwa Allah telah mengirim kedua anak itu pada saya untuk menjawab doa-doa saya selama puluhan tahun. Saya percaya Dia telah memilih saya untuk melihat kebenaran dan cahaya Islam. Saya percaya Allah telah mengirimkan Islam ke rumah saya. Saya bersyukur Allah telah melimpahkan kasih sayang dan cintaNya pada saya,” tutur Linda tentang keislamannya.

Menjadi Seorang Muslimah

Setelah “anak-anak angkat”nya kembali ke Saudi, Linda secara resmi mendaftarkan dirinya sebagai seorang Muslim dan bergabung dengan sebuah masjid lokal. Linda mengakui, keluarga besarnya masih terkaget-kaget dengan keputusannya memeluk Islam. Mereka berpikir Linda tidak akan lama menjadi seorang Muslim dan dengan cepat akan segera berpindah ke agama lain seperti yang ia lakukan saat masa mudanya dulu.

Beruntung suami Linda orang yang sangat terbuka. Ketika Linda mengatakan bahwa mulai sekarang mereka harus makan makanan halal dan meninggalkan makanan yang diharamkan Islam, suaminya hanya menjawab “okay”. Linda juga mulai menyingkirkan foto-foto manusia dan gambar binatang yang dipajang di rumahnya. Linda tidak lupa menulis surat pada teman-teman dan keluarganya yang non-Muslim, mengabarkan bahwa sekarang ia menjadi seorang Muslim dan itu tidak akan mengubah hubungan mereka.

Sambil terus menjelaskan tentang rukun Islam pada keluarganya, Linda juga belajar salat dan membaca al-Quran, aktif dalam kegiatan Muslimah dan banyak menambah wawasan tentang Islam lewat internet. Lewat internet pula Linda bertemu dengan seorang Muslimah asal Kuwait yang mengiriminya paket berisi jilbab, kaos kaki dan abaya. Sahabatnya itu mengucapkan selamat atas keputusannya menjadi seorang Muslim.

Linda bukannya tidak menghadapi kesulitan beradaptasi dengan sesama Muslimah yang ia jumpai। Dari beberapa masjid yang ia kunjungi, Linda memahami bahwa kelompok-kelompok Muslim di sebuah masjid berkumpul biasanya karena persamaan budaya dan bahasa. Linda pernah merasa menjadi “orang asing” di tengah Muslim yang tidak terlalu mempedulikan kehadirannya. Namun Linda lebih banyak menemukan Muslim yang terbuka, hangat dan siap membantunya untuk belajar Islam.

Sampai sekarang, Linda masih terus belajar dan belajar। Ia kini mengelola situsnya www.widad-lld.com dan menjadi direktur untuk Islamic Writers Alliance.


ताकें फ्रॉम:नस्रुनीBlog

Tuesday 6 January 2009

Untuk Gaza, Mereka Diam

Ratusan nyawa itu
harus meregang
dan terlepas secara paksa
dari raganya….
Mereka diam

Wanita-wanita itu menangis
dengan suara pilu yang menyayat
karena harus kehilangan
tunas-tunas harapannya…
Mereka masih diam

Anak-anak itu menjerit
sakit dan perih dirasa mereka
dan wajah-wajah tak berdosa itu pun harus berpisah
dari ayah, ibu, dan saudaranya
dengan cara durjana
Lagi, mereka diam

Tentara-tentara itu memuntahkan
ratusan, bahkan ribuan peluru
tanpa beban
tanpa perikemanusiaan
mereka datang, membunuh, dan membantai
Mereka masih saja diam

Lalu, bom-bom itu berjatuhan
dari langit bak air hujan
menghujani Gaza
meratakan Gaza
dan membasahi Gaza dengan lautan darah
Mereka juga diam

Mereka seakan lupa
sering menyebut diri sebagai pembela HAM
Mereka juga lupa
betapa seringnya ikut campur tangan terhadap urusan dalam negeri bangsa lain
karena masalah HAM

Mereka yang sering berjanji tentang tatanan dunia baru
dunia yang lebih berkeadilan
dunia tanpa kekerasan
dunia tanpa standar ganda

Justru, mereka sekarang seperti mencari pembenaran
atas apa yang terjadi di Gaza
Mereka yang dengan hak vetonya
membuat PBB tak bergeming
membuat PBB tak berkutik
bak macan ompong

Mereka pun seolah ingin mengatakan
apa yang terjadi di Gaza
bukan pelanggaran HAM
bukan...dan bukan
kata mereka tegas

Lantas, apa definisimu wahai Amerika tentang pelanggaran HAM?
Tidakkah cukup ratusan ribu warga Palestina yang harus meregang nyawa
karena senjata, bom, dan tank-tank Israel?
Tidakkah cukup jutaan anak-anak yang harus menjadi yatim piatu
karena kehilangan ibu atau ayah mereka?

Tidakkah cukup jutaan wanita yang harus menjanda
karena kehilangan suami mereka tercinta?
Tidakkah cukup jutaan wanita tak bisa lagi mengeluarkan air mata
karena harus kehilangan tunas-tunas harapan mereka?
Tidakkah cukup jutaan warga Palestina harus mengungsi
karena tempat tinggal mereka hancur oleh tank-tank Israel?

Ah, Amerika lagi kau membuat
seorang wargamu, Rachel Corrie menangis di sana
karena apa yang diperuangkannya
tak jua terwujud.....